Jumat, 15 September 2023

Cerpen 9. "STM"

 

 

“STM,  SAHABAT TAPI MESRA”

 

Cerpen: Pakde Pudja

 

Sebagai seorang suami Rendi sangat mencintai istrinya, diapun sudah berjanji menemani istrinya berjuang untuk sehat. Darmini sudah hamil anak pertamanya, dia telah berhasil melakukan tugasnya mengakuisi beberapa perusahaan untuk kantornya. Namun Rendi pun sangat berhasil sudah mampu mengakuisisi hati Darmini, setelah dia dijadikan pelarian cinta Ariati. Diapun sering bersenandung “peluklah daku dan lepaskan” lagu ‘kebangsaan Rendi di kalau galau”. Dari Sahabat Tetapi Mesra berubah menjadi Sahabat Tetapi Menikah, antara Rendi -Darmini.

**#**

Rendi pagi pagi sudah bersenandung di toilet. Senandungnya galau aku tahu itu lagu jadul, cinta pelarian, “cintamu hanya pelarian” hanya itu yang ku ingat liriknya. Darmini (Darmi) menantikan di depan pintu keluar toilet, dan mencegat Rendi ngajak ngopi di ruangannya. “Mumpung masih pagi, ayo ngopi dulu Ren” Darmi nawari Rendi.

Mereka masuk ke ruangan Darmi, dia membuatkan Rendi kopi  hanya kopi sachetan. Mereka memilih kopi cream latte. Rendi duduk di sofa sambil memperhatikan Darmi membuatkan kopi. Darmi memang memesona

Lalu kopi sudah tersaji mereka duduk di sofa. Darmi memang sahabat dari kecil Rendi. Sehingga terkadang perasaan merekapun seakan terhubung. Yang satu merasakan kesedian atau kegembiraan yang lain. Intinya keduanya gengsi walau saling jatuh cinta, alasannya klasik lebih baik bersahabat, kata mereka.

Darmi duduk gelayutan sebelah Rendi. Dia sampaikan bahwa dia mendengar lagu yang disenandungkan Rendi adalah kekecewaan. “Ya siapa tak kecewa Dar, aku yang sehari hari pacaran dengan Ariati eh.. nikahnya sama Toni si play boy itu” pungkas Rendi dengan emosi. Sangat emosi dia. Darmi mengelus elus bahu Rendi, dia duduk di handrest sofa sebelah Rendy. Sesekali dia mengelus elus pundak Rendi, ”sabar Ren, memang bukan jodoh mungkin. Untung sekarang dia meninggalkan kamu. Coba saat sudah menjadi istrimu pasti kamu lebih sakit” lanjut Darmi.

Mereka ngobrol serius, Rendi merasa dia hanya dipakai tempat pelarian saja. Dengan cinta pelarian Ariati, dia pintar merahasiakan sesuatu. Itulah wanita bisik hati Rendi. Rendi sudah memperlakukan Ariati bagaikan ratu, tapi teganya dia meninggalkan begitu saja.

Darmi sebenarnya jauh lebih cantik, semampai, mata tajam dengan jari lentik  berkuku panjang. Rambutnya panjang sedikit ngombak. Kulitnya mulus sekali. Rendi tahu karena dia terbiasa dengan Darmi, dia sahabatnya sejak kecil Rendi.

Darmi merasa temannya dipermainkanlah, kalau begitu persoalannya. Darmi memberikan sedikit teraphi mencium tipis bibir Rendi eh Rendi bereaksi. “cukup cukup Ren” bisik Darmi. Ayo kerja sudah hampir pukul delapan.  Rendi pamit balik ke ruangannya.

Hari berganti hari, Minggu berganti minggu, sudah hampir sebulan Rendi tak ketemu Darmi, dia hanya sekelebatan muncul di kantor, jangankan ngopi nyapa saja belum sempat dia sudah hilang. Padahal aku mau sharing dengannya, selama nyaris sebulan setengah pernikahan Ariati. Mungkin dia ada proyek di luar kantor yang perlu konsentrasi.

Pesan Ariati masuk di WA nya Rendi, dia ingin ketemuan pulang kantor nanti sore. Walau berat Rendi oke kan saja. Mereka ketemuan di cafe yang sering mereka datangi saat pacaran dulu. Tak ada semangat Rendi berangkat dia santai saja tidak seperti dulu. Fikirnya ketemu syukur, nggak ketemu enggak apa apa, dari pada sakit hati lagi menjadi tempat pelarian.

Rendi datang sekitar lima belas menit setelah waktu yang di janjikan

Nampaknya Ariati sudah disana menunggu. Dia sudah memesan minum. Mereka saling menyapa basa basi, ketika Ariati mau cipika cipiki Rendi menarik mukanya pertanda dia menolak. Terlihat memerah malu muka Ariati.

Rendi hanya menjadi pendengar setia tanpa mau komentar apapun.  Lalu Ariati bercerita bahwa pernikahannya sudah kandas, dia menggugat cerai suaminya. Suaminya sudah setuju. Ariati stress memikirkan kelakuan suaminya, yang dia tahu dari kiriman video seseorang yang telah berbaik hati mengirimkan kebejatan suaminya, sehingga mudah untuk Ariati menuntut cerai. Karena sudah ada kesepakatan dengan Toni lewat kuasa hukum masing masing, mereka tinggal menunggu pengesahan perceraian mereka, terlebih belum ada harta gono gini.

Ariati meminta maaf atas perlakuannya kepada Rendi. Dia sudah menelantarkan cinta suci Rendi. Ariati bilang dia dibutakan hatinya oleh Toni. Akibat kelewatan hubungannya menjadikan Ariati hamil. Kehamilannya sebulan pernikahan keguguran dalam umur sepuluh minggu. Rendi hanya diam mematung tanpa komentar mendengarkan nya membuat Ariati marah. Rendi hanya bilang, yang marah harusnya saya bukan kamu Ar.

*Cukup cukup kata Rendi, hatiku sudah tertutup dan belum bisa lagi untukmu” sahut Rendi mengakhiri pertemuan itu, dan langsung pergi meninggalkan Ariati dalam tangisnya sendiri di cafe itu.

Setiap pagi Rendi menyambangi ruangan Darmini, namun lebih banyak kosongnya. Diapun akan mencoba mengirim pesan siapa tahu dia ada waktu. Siang itupun saat istirahat makan Rendi mengirim pesan. “Dar, aku kehilangan kamu. Aku pingin ketemu denganmu mau curhat lanjutan” pesanku. Aku hanya makan di kantin kantor, ketemu teman teman sekantor. Ada Rini, Nindi, Maya siang itu, akupun gabung di mejanya. Kugoda Maya yang bahenol, “Maya....aaa  Maya jangan kau tinggalkan diriku....” itu potongan lagu Maya nya Muchsin Alatas.

Obrolanpun kesana kemari. Lebih banyak membahas polusi udara yang memperburuk udara ibukota siang itu. QPI sudah diatas 400 padahal ambangnya 260. Aku, ditanya mereka tentang QPI, kujawab sekenanya Quality of Pollutan Indexs. Dan kuberi sedikit penjabaran polutan dan komposisi gas atau zat di udara.

Maya mengambil inisiatif sekarang kita yang traktir Rendi. Tapi besok  Rendi yang traktir kita. Mereka bertiga setuju. Oke setuju. Dan  kamipun keluar kantin berpencar ke ruangan masing masing.

Menjelang pulang pesanku di balas Darmi. Dia mengajak ketemuan di cafe dekat stasiun kereta api, katanya dia sampai dari Cikarang sekitar PK 17 an. Kujawab: “Oke, siap, sampai  ketemu”.

Ketika aku datang Darmi belum sampai mungkin macet di tol  dari Cikampek atau Keretanya tekat. Aku pilih sebuah meja di pinggir kanan live music home band cafe nya. Penyaninya pun melantunkan lagu lagu oldist, dan lagi  mengalunkan lagu lama “Peluklah Daku dan Lepaskan” karangan Jessi Wenas, aku lupa penyanyi aslinya, tapi di cover oleh Victor Hutabarat dengan suara emasnya. Syairnya memang sering kusenandungkan. Darmi tahu bila kusenandungkan berarti aku sedang galau. Syairnya seperti berikut seingatku.

Tak mengapa jikalau berpisah, sayang

Cintamu jangan kau paksakan

Masa lalu bagiku tinggal kenang-kenangan

Peluklah daku dan lepaskan

Yang menggantikan daku telah sedia

Orang yang dahulu kutanyakan padamu

Tak terjawabkan

Sudah sejak dahulu telah kukatakan

Cintamu hanya pelarian

Kini dikau pun sadar daku yang jadi korban

Peluklah daku dan lepaskan

Yang menggantikan daku telah sedia

Orang yang dahulu kutanyakan padamu

Tak terjawabkan

Sudah sejak dahulu telah kukatakan

Cintamu hanya pelarian

Kini dikau pun sadar daku yang jadi korban

Peluklah daku dan lepaskan

Dan lepaskan

Dan lepaskan

Tiba tiba Darmi tepuk tangan sehabis lagu itu dinyanyikan, menghampiri ku, biasa kami saling berpelukan sebentar. Dan tidak lama lama seperti itu, peluklah daku dan lepaskan. Oleh Darmi para penyanyi di suruh istirahat makan dulu. Lalu kamipun ngobrol kata Darmi dia sudah order menu.

“Nah sudah bereskan sakit hatinya. Kan sudah ketemu Ariati. Dia sudah mengakhiri pernikahannya. Begitu saja nyaris patah hati kau Ren” katanya membuka obrolan. “Terimakasih, sudah kuduga kamu pasti bergerak Dar. Kamu memang sahabat sejati, kataku. Bagaimana kalau...” sampai disana aku ngobrol dia menutup bibirku. Apa aku harus tutup dengan ciuman Ren. “Ha ha ha..” tawa kami berderai. Ayo kita makan minum dulu, hal yang serius kita bicarakan di kantor saja, nanti diintip orang” sambung Darmini. Kami menikmati paket nasi timbel lengkap dengan sambel Tutuk, nila goreng, lenca dan sayur asem, sedangkan Darmi makan lontong laksa. Sama seperti dulu kami sharing makan, aku suapi Darmi menuku, diapun menyuapi aku menunya. Sangat mesra. Diapun sering kucium dan sebaliknya. Jadi kami itu STM, Sahabat Tapi Mesra. Hanya tidak sampai berhubungan badan. Dia sebenarnya idolaku, bodinya sempurna, pribadinya menurutku oke. Ngobrol nyambung. Dia orang yang smart.

Sebelum pulang Darmini bilang dia tak tega melihat sahabatnya tersakiti. Tugas dia menghentikan. “Tapi mengapa....” lagi lagi bibirku ditutupnya disuruh diam, dan dia ajak aku menyanyikan sebuah lagu ketika pemain band mau mulai. Lagu “Tiada Lagi” nya The Mercy”s. Dan kamipun bernyanyi. Mengalun merdu lagu kami, air mataku nyaris menetes. Sampai lirik terakhir “Tiada lagi yang kuharap dari mu...”.

Aku berpisah di cafe karena memang arah pulang kami berbeda. Darmi memang sahabatku, dia menempatkan sahabat diatas segalanya. Tapi dia terlalu kejam sampai merusak mahligai rumah tangga orang lain.

**#**

Pagi pagi aku ketemu dengan Darmi di depan toilet, dia mencuci tangan, aku menbilas muka. Dia mengundang ku ke ruangannya. Lalu dia memulai bicara serius setelah membuatkan kopi untuk kita berdua, dia membuatnya cuma satu, biar lebih mesra Ren katanya. Aku seruput kopinya, dia neplok disebelahku. Dia bicara serius bahwa dia tahu bahwa Rendi mau mengungkapkan cintanya kepada dirinya. Tapi Darmi meragukan apakah Rendi mau menerima segala kelebihan dan kekurangan Darmi. Untuk menghindari itu lebih baik kita STM an saja Ren. Darmi tahu mereka saling mencinta.

Rendi berjanji menerima segala kelebihan dan kekurangan Darmi. Bukankah kita selama ini sudah saling mengenal Dar, tanya Rendi. Darmi memeluk Rendi setelah mengunci pintu ruangannya. Rendi berdiri, Darmi memeluknya erat dan berbisik di telinganya. Tidak semua tentangku kamu tahu Ren. Kamu harus berjanji menerima kekuranganku. Aku akan terima apa adanya Dar, bisiknya.

Sambil menangis Darmi berbisik di telinga Rendi dan terasa hangat air matanya, begitu juga nafasnya berpacu emosi, detak jantungnya keras kaya genderang perang nempel di dadaku, “aku menyimpang Ren” katanya. Rendipun memeluk semakin erat Darmini agar dia merasa lebih aman dan nyaman. Darmi melepaskan rangkulannya duduk lagi berharap hadapan dengan Rendi. “Benar Ren, kamu mau membantu aku. Aku sudah capek begini” tanya Darmini sambil menangis. Rendi dengan tegas akan membantu Darmini dalam suka dan duka. Sambil senyum Darmi berbisik: “kaya di gereja ya Ren”. *Siap siap Nona” kata Rendi tegas.

Darmipun menjelaskan bahwa dia itu bisexual -hetero lesbi-, dia bisa bercinta dengan pria, dan bisa dengan wanita. Darmi pun menegaskan bertanya: ”Benarkah Ren?”. Rendi mengangguk dan berkata lirih. Darmi melanjutkan:  “makanya saat Rendi pacaran dengan Ariati, Darmi juga pacaran dengannya, semata mata karena Darmi Cinta Rendi, tak mau kalau Rendi diambil orang. Itu awalnya semata untuk memata matai kamu Rendi, karena aku sangat cinta kamu, tapi dilema berhubungan cinta atau sahabat. Tapi pekerjaan itu melelahkan dan menyakitkan. Akhirnya akupun sering bercinta dengan Ariati. Menjadikan aku menemukan kenikmatan lain, dan aku nikmati sehingga membuat aku tak normal. Dan ketika Ariati menikah dengan Toni, yang hancur bukan kamu Ren, tapi aku juga”. Ariati telah mengkhianati cintanya.

Rendi bersedia menemani Darmi untuk sembuh dan normal kembali, menurut Darmi selama ini disamping dia mengganggu suami Ariati, dia juga sedang beobat ke psikolog. Salah satu saran psikolog Darmi untuk segera menikah secara normal. Bantulah aku Ren desahnya, sambil menciumi Rendi dengan ganasnya. Itu pertanda Darmi sudah semakin wanita. Rendipun mengingatkan Darmi bahwa itu di kantor dan sudah dulu sampai disini. Mereka saling merapikan diri dan kembali ke ruangan masing masing.

 

Pakdepudja@puri_gading Jimbaran, 11092023

 

Sabtu, 09 September 2023

Cerpen 8. PETUALANGAN CINTA


“PETUALANGAN CINTA”

 

Sore itu dikala aku duduk termenung melihat dua jago sedang bertarung di depan rumah, tiba tiba ada sepucuk telegram datang. Aku terima dari Pak Pos, sambil asyik menonton pertarungan dua jago yang masih seru. Hasil akhirnya si hijau kewalahan, si merah menang dengan sombongnya bersorak kelurukkkkk, kuk kluruk kuk, secara berulang setelah mengibaskan sayapnya.

Aku buka telegram nya dari istri sahabatku di kota Medan yang mengirim, mengabarkan bahwa suaminya masuk Rumah Sakit karena kecelakaan. Aku tahu istrinya pasti panik, apalagi kudengar bahwa dia lagi hamil lima bulan, sudah pasti dia sangat panik. Komunikasi saat itu tidak semudah sekarang, kebesokannya baru aku bisa nelpon menanyakan kondisinya lewat temanku di kantor cabang di kota Medan.

Kalau sekarang tinggal telpon lewat HP, kalau dulu lewat telpon konvensional, yang tidak semua orang mempunyai di rumahnya. Aku menggunakan fasilitas kantor.  Aku hanya bisa berdoa semoga kawan ku Si Patari tertangani dengan baik oleh dokter dan bisa cepat sembuh.

Ku telepon lewat Budi kawanku. Dia mengabarkan bahwa Patari sudah tertangani, kakinya yang patah sudah di operasi di pasang pen. Semoga saja dia cepat sembuh. Budi pun berinisiatif akan mengabari teman seangkatan aku saat menjadi karyawan, untuk solidaritas mendoakan Patari.

Budi sambil tertawa ditelepon mengabarkan bahwa patari saat kecelakaan lagi membonceng cewek cantik. Ceweknya lebih parah dari Patari, namun tidak ada patah tulang. Hanya gegar otak ringan saja  Mungkin ini menyebabkan Lestari istri Patari menjadi lebih marah. Ku minta Budi menenang kan Lestari agar dia tidak stress saat kehamilan nya dalam mengurus Patari.

Aduh Patari kawanku satu ini tak henti hentinya main cewek, nggak tahu istrinya lagi hamil. Budi kuminta membantu Patari menguruskan Asuransi Kesehatannya agar tercover biaya perawatannya. Kejadian itu kemudian kudengar mengguncang rumah tangga Patari, sehingga Lestari keguguran anaknya dalam kandungan. Terus minta cerai dan kembali ke Sidoarjo Jawa Timur. Patari sangat malu dia keluar dari kantorku karena malu, kudengar dia sekarang menjadi Pimpinan sebuah Agent Perjalanan Wisata, menikahi cewek yang kecelakaan dengannya.

**#**

Waktu cepat berlalu, aku masih di Jakarta. Patari di Medan dan Budi pindah ke kantor cabang di Surabaya. Semuanya sudah ada anak, aku sudah hampir anak dua karena istriku lagi hamil, anak pertama baru lari larian. Budi kata Patari sama dengan Patar punya seorang anak yang belum genap setahun.

Asyik memgurus keluarga kami masing masing, sampai lupa saling berjabat sampai Budi menikahpun aku tak tahu, tapi Patari tahu karena masih ada hubungan bisnis masih sering berkomunikasi. Aku janji bila dinas ke Surabaya aku akan mampir ke rumah Budi, anak Tulung Agung yang kukenal sejak pertama kulihah kami satu angkatan satu almamater.

**#**

Kali ini ada dinas ke luar, aku sengaja minta ke Surabaya, ke Medan sudah tahun lalu ketemu Patari saat dia sudah mulai sembuh dan menikah lagi. Saat aku mampir di rumah Budi, benar saja dia punya Agen Perjalanan di depan rumahnya yang di dekat Bandara. Dia melayani tiket bus, kereta api, kapal laut dan pesawat udara. Saat aku dikenalkan Budi ke istrinya aku kaget, kok namanya Astuti, kukira Lestari. Aku sempat bilang:”Mbak Lestari?”. Diapun menggeleng bukan mas. “Mbak Lestari jauh lebih cantik dariku” katanya. Wah aku keliru rupanya, kaya pinang dibelah dua. Kata Budi memang dia menaksir Lestari, namun Lestari tak mau dan menyuruh mendekati adiknya yang masih gadis. Biar lestari nanti nikah dengan yang lebih tua atau sudah duda sekalian, begitu permintaan Lestari.

Budi rupanya gengsi mengundang aku saat menikah, karena dia menikah terakhir. Dia kalah taruhan karena perjanjian yang dia buat diantara kami bertiga, siapa menikah terakhir berkewajiban mengundang dan menanggung beban transportasi dan penginapan. Budi saat menikah kesulitan dengan biaya, karena saat itu kemarau panjang sehingga dia harus mensupport keluarganya di kampung.  “Nah senjata makan tuan” kataku. Budi yang berjanji dia pula yang melanggarnya. Kau yang berjanji kau yang mengingkari Budi, kataku dalam hati.

Kami tertawa berderai berempat saat itu, karena saat itu Lestari juga ada di tempat Budi, ikut bergabung kemudian sehingga kami berempat dengan Budi dan Astuti ngobrol ngalor ngidul sore itu.

Lestari bilang bahwa Budi orang baik, dia menolong Lestari saat terpuruk di Medan keguguran kandungannya kemudian bercerai dengan suaminya kala itu. Lestari meminta Astuti menikah dengan Budi kalau dia mau. Lestari tahu bahwa Astuti juga menaruh hati pada Budi, dan Budi pantas dapat istri gadis. Walau lestari tahu Budi suka padanya. Lestari tak mau Budi menikahi janda seperti dia. Dia mengalah, yang pada akhirnya menikah dengan seorang guru ngaji di kampungnya.

Setelah malam Budi mengajakku mencoba masakan khas Surabaya, makan rujak cingur dan soto tangkar, tapi aku pilih rawon saja karena aku sudah kangen kuahnya itu lho yang gurih dengan keluweknya. Aku nggak habis pikir kamu akhirnya bisa menikah Dengan Astuti, dan dikaruniai seorang Puteri cantik seperti ibunya, dan tinggi seperti ayahnya. Lalu dia bercerita kenapa dia pindah dari Medan. Itu memang karena Astuti disamping karena bisnisnya disana bangkrut kena tipu rekan bisnisnya. Tapi ke keluarga dia bilang kerugian perusahaan yang kalah bersaing.

Kami juga tidak lupa mengunjungi Jembatan Suramadu, kami berhenti di seberang menikmati malam yang mulai beranjak malam. Aku tanya lagi kenapa Budi tidak jadi menikah dengan anak juragan supermarket dari Pamekasan, di Pasar Gembrong itu. Budi bilang hanya masalah dia, Sarah hanya tamatan SMP keluarganya menentang. Lagi pula mahar yang diminta keluarga Sarah sangat tinggi.

Bulan sudah condong ke barat, kami kembali ke penginapan di antar Budi, untuk kembali ke Jakarta dengan pesawat pagi, mau langsung ke kantor.

**#**

Kembali keseharian di Jakarta, aku sudah melupakan kenangan bersama teman temanku Patari dan Budi. Tak kusangka suatu pagi Patari sudah duluan di kantor menungguku. Dia bilang sudah seminggu di Jakarta. Dia ada urusan pribadi yang dia hadapi bersama istrinya Ariani. Ariani membawa kabur anaknya karena suatu masalah dengannya. Ariani selalu mengungkit pernikahannya yang tanpa modal cinta. Berawal dari iseng kenal, lalu indehoy berdua, kecelakaan sembuh. Orang tua Ariani menganggap Patari membawa petaka ke anak mereka, sehingga memaksa Patari menikahinya. Sebagai seorang lelaki yang bertanggung jawab Patari menerimanya dengan sportif, terlebih saat itu dia baru cerai dengan istrinya Lestari. Bak pucuk dicinta ulam tiba.

Nah sekarang karena tanpa cinta mendasari pernikahan mereka, Ariani kembali menjalin kasih dengan kekasihnya sebelum kecelakaan dulu. Kelihatannya dia belum move on. Cintanya sangat kuat diantaraereka berdua. Dia mengajukan cerai ke Patari. Dengan tidak mengambil pusing Patari setuju cerai dan anak ikut ibunya karena masih kecil.

Dia mengais hidup di Jakarta dengan kerja serabutan. Sebenarnya di kantorku ada lowongan yang pas dengan kualifikasi Patari, tapi aku tidak berani memasukkannya karena Patari biasa tak bertahan lama kerja disebuah tempat. Dia akan selalu mencari peluang lebih baik, menerima kerja yang bayarannya lebih besar. Itu dilema buatku. Tapi aku biarkan dulu dia cerita sambil aku menyelesaikan kerjaku pagi itu.

Akhirnya kami keluar kantor, untuk makan siang disebuah kantor ormas yang cukup besar. Saat muda kami sering makan disana karena terkenal dengan udang asam manisnya, serta sayur daun singkong santannya.

Kata Patari dia merasa terlahir kembali makan di tempat ini. Ternyata banyak teman yang bernostalgia makan pada siang itu. Begitu kami ngopi sehabis makan, ada seorang ‘nona’ apa ‘nyonya’ seakan masih ku kenal. Patari mendekati dan menanyakan kebenaran memorinya. Benar saja dia Nita. Dia alumni Sekolah Bisnis tidak jauh dari rumah makan itu, sekarang mengelola bisnis keluarga dan sampai lupa menikah katanya. Patari sempat saling bertukar kartu nama, walau dia pakai kartu nama saat di Medan. Wah dasar PatarI kebiasaan mudah jatuh cinta tetap saja. Kamipun kembali ke kantor meninggalkan Nita makan bersama seorang ajudannya.

Patari sudah selesai urusan dengan istrinya, dengan perjanjian hitam diatas putih segala setelah proses perceraian, diapun asyik dengan kehidupan Jakarta. Dasar PatarI dimanapun dia bisa hidup, dia seperti pohon singkong bisa hidup dimanapun. Dia bisa menjadi timer pangkalan, calo tiket segala event, memang kelebihan dia.

Tiga bulan berlalu, Patari datang padaku. Dia membawa undangan bahwa dia akan menikah. Kubaca calon penganten perempuannya Dr. Yuanita, aku bilang ke dia: ” mudah mudahan aku bisa datang”. “Betul datang ya biar tambah ramai walau penganten estewe, setengah tua” candanya sambil berlalu. Dia hanya mampir sebentar di kantorku. Tak enak katanya karena banyak yang masih kenal dan tahu kisah cintanya di Medan.

Pernikahan berlangsung anggun, namun tidak ramai. Disebuah hotel di tepian laut di Utara Jakarta. Alunan musik country dan jazz silih berganti. Cocok dengan pengantennya yang sudah estewe. Mereka penganten memakai pakaian penganten kelihatan sederhana namun berkelas. Tetapi tetamu tidak terlalu banyak, kami sempat saling kenalan satu persatu. Ternyata mempelai wanita itu adalah Nita yang kujumpai di rumah makan. Kubisiki Patari:”Awas jangan main main, ini pernikahan terakhir ya”. Jawabnya hanya ngangguk ngangguk saja. Nita pun nyeletuk membisiki aku:”tenang Mas Brow, dia sudah jinak”. Kamipun tertawa aku, istriku dan kedua mempelai. Nita tahu panggilanku Mas Brow berarti dia orang dekat kami juga. Rupanya Nita sudah kenal aku saat masih mahasiswa. Sebelum sekolah bisnis dia sekampus dengan kami  Patari itu pernah naksir Nita, namun Nita fokus sekolah dulu. Terus kerja lupa pacaran dan menikah. Pertemuan dengan kami di rumah makan membangkitkan semangatnya untuk berani menikah. Patari memotivasi Nita untuk menikah, dan Khabar itu Nita khabarkan ke orang tuanya, dan semuanya setuju karena dari dulu sudah kenal Patari.

Lagu country roadnya John Denver mengalun merdu mengiringiku menikmati hidangan yang dihidangkan para pelayan cantik. Kami menjadi tamu yang dilayani malam itu. Semua kulihat hepi terutama Nita yang selalu mengempit tangan Patari. Patari memang temanku itu sangat romantis.  Malam itu milik mereka berdua.

Pernikahan yang ketiga Patari ini sampai ke telinga Lestari. Dia meneleponku, aku jelaskan yang aku tahu. Lestari pun kelihatan ikut berbahagia mendengar berita ini. Dia merasa ikutan bersalah telah cerai dari Patari, karena kemakan emosi , goncangan keguguran dan kecelakaan Patari ia menyesal. Tapi diapun sekarang sudah betbahagia dengan pak guru ngaji. Lestari tahu Patari orang setia dengan istri, hanya mudah digandrungi wanita karena sifatnya yang mudah membantu dan gampang bergaul. “Dia orang setia, seharusnya aku tak nuntut cerai kala itu”, katanya.

Hampir sudah tiga tahun Nita dan Patari menikah, mereka dikaruniai seorang Puteri cantik. Mereka hidup bahagia, Patari rajin dan pandai, menjadi tandem Nita, bukan dalam membangun rumah tangga saja namun memajukan perusahaan juga. Semua kelihatan bahagia ketika Patari dan Nita mengadakan pertemuan keluarga antara keluarga Patari, Lestari, Ariani yang semuanya sudah punya anak. Mereka orang orang baik, akan kembali ke kumpulan orang baik, kaya kawanan burung itu. Dia akan kembali ke kelompoknya. Demikian juga manusia, dia akan baik bila berkumpul orang baik, dan dia bisa melenceng dikawanan orang yang tidak baik. Aku Mas Brow salut buat sahabatku ini semua, karena keluarga kami, keluarga Budi juga hadir pada pertemuan itu. Kuucapkan, “Selamat Sore Mas Bro dan Mbak Sista semuanya semoga hepi di hari ini dan hari esok”.

 

Pakdepudja@Baliselatan, 06092023

Rabu, 06 September 2023

Cerpen 7. *ART KU, ISTEI MITRA BISNISKU"

 

Cerpen.

 

“ART KU, ISTRI MITRA BISNISKU”

 

Baru tujuh bulan menikah, Sumi melahirkan putranya. Kami merasa kecolongan, padahal sejak wisuda dia memakai kain, kelihatan jelas bokong dan dadanya mencirikan dia hamil, kok aku diamkan saja.  Apalagi saat pernikahan kulihat perutnya sudah begah. Namun karena sudah ada suaminya, aku tak sampai hati menanyakannya. Apalagi Mas Suparmanto mitra bisnis suamiku.

Sore itu aku (Miranti) pulang lebih awal dari kantor, anakku Erlangga, mengabarkan bahwa di rumah ada tamu. Katanya Eyang kakung ( kakek) nya datang dari kampung bersama tiga orang lainnya sepuh semua. Mereka naik mobil travel tadi siang diantar sampai di rumah.

Sesampainya di rumah aku kaget, di rumah ku ada apa ini seperti ada yang penting ibu dan ayahku datang bersama ayah ibunya Sumi asisten rumah tangga yang sudah lama ikut denganku. Apa mau menjemput Sumi untuk dinikahkan. Memang umurnya sudah matang, dia susah dua puluh empat tahun.

Terus terang asisten rumah tanggaku itu orangnya sopan, kalem dan tentu cantik. Aku saja iri dengan kecantikannya. Kulitnya mulus, putih tidak mencerminkan dia seorang ART.  Kerjanya juga bagus, sangat sayang kepada anakku Erlangga. Dia mendampingi Erlangga sejak Sumi tamat SMEA empat tahun lalu. Dia tidak mau kuliah lagi saat kutawari, dia mau fokus ngurus Erlangga dan keperluan di rumah. Bila ada waktu dia mau ikutan Universitas Terbuka saja katanya kala itu.

Setelah menaruh tas dan berganti pakaian aku bergabung tamuku ngobrol. Biasa standar basa basi nanya keadaan di kampung, kesehatan dan lain sebagainya. Kami ngobrol sambil ngopi sore. Kuperhatikan mereka kok berpakaian resmi, pada pakai batik dan kebaya ya. Kalau ibuku memang sudah biasa memakai kebaya, tapi ayah ibunya Sumi kok sama juga.

Tak lama berselang secara hampir bersamaan suamiku Handoko tiba dirumah dengan anakku yang di temani Sumi seperti biasa pulang kegiatan. Seperti biasa mereka saling salaman dan ikutan ngobrol bersama. Menjelang magrib aku kedatangan tamu lagi Mas Suparmanto datang bersama anaknya Ratih temannya Erlangga, dan dua orang tua Mas Parman.

Mas Parman -ku panggil untuk Mas Suparmanto- sudah hampir empat tahun ditinggal Sri istrinya meninggal dunia, karena penyakit yang dideritanya. Belum lama ngobrol, waktu Magrib telah tiba, Handoko menawarkan untuk sembahyang bersama. Sehingga kami magriban bersama. Rumah kami menjadi ramai.

Bubaran sholat, Mas Handoko menggiring para tamu ke ruang keluarga. Aku menjadi bingung ada apa ini. Kupanggil Sumi, dan aku tanya ada acara apa ini. Sumi pun bilang tidak tahu, terus menyuruh aku menanyakan ke Bapak saja, maksudnya Mas Handoko.

Bersamaan dengan itu, suamiku mengajak aku ikutan bergabung di ruang keluarga. Mas Handoko membuka acara dengan menyampaikan terima kasih ke pada semua yang datang atas undangan Mas Handoko. Ini dilakukannya terkait dengan maksud dan tujuan Mas Suparmanto, yang meminta Mas Handoko untuk merahasiakan nya. Untuk itu acara diserahkan ke keluarga Mas Suparmanto.

Aku menjadi semakin bingung, kok pakai rahasia segala, apa aku juga perlu di sembunyii, dalam kebingunganku keluarga Mas Parman menyampaikan maksud kedatangan nya.

Diwakili ayah Mas Parman keluarga itu minta maaf ke keluarga kami, ke orang tua Sumi, karena telah mengundangnya datang. Mengingat menurut adat mereka lah yang harus datang ke orang tua Sumi. Aku ngerti jalan ceritanya ini pasti. Orang tua Parman melanjutkan. Mereka datang untuk menyampaikan niat mereka untuk meminta Sumi menjadi menantunya, menjadikannya istri Mas Parman.

Mas Handoko mempersilahkan orang tua Sumi untuk memutuskannya. Mereka berdua serentak mengajak Sumi masuk ke kamarnya, dan menanyakannya:”Apa kah Sumi memang juga suka sama Mas Parman. Bagaimana hubungan mereka selama ini?”.

Sumi menjelaskan bahwa dia Mas Parman memang pernah beberapa kali ‘menembak’ Sumi. Namun sumi walau sebenarnya awalnya malu, karena kegigihan dan keseriusan Mas Parman, aku mau pak, katanya. Sumipun mohon ke orang tuanya untuk merestui niatnya untuk menikahi Mas Suparmanto.

Ketiga insan itu kembali ke meja diskusi tadi. Semua menunggu dengan tenang, Sumi duduk di sebelah Bapaknya. Karena Sumi juga memang sudah suka sama Mas Suparmanto, dan sudah pernah menyatakan iya, “Kami sebagai orang tuanya, merestui dan bisa menerima permintaan keluarga Mas Suparmanto”. Alhamdulillah. Sahut mereka bersamaan. Rupanya Erlangga dan Ratih nguping dari ruang tamu, karena begitu kami bilang alhamdullilah mereka datang bersamaan dan menyalami Om Suparmanto.”Selamat Om, selamat Mbak Sum” kata Erlangga. “Selamat ya pa, Mbak Sumi bisa menemani Ratih. Selamat mbak Sum” ujar Ratih sumringah. Aku jadi tahu rupanya mas Parman mau membicarakan Sumi, dia mungkin takut aku tak setuju. Semua pada bubaran malam itu. Orang tua Sumi juga merasa lega karena putrinya segera akan menikah.

Aku heran tadi mas Parman, menyodorkan konsep surat undangan, selain keluarga kami turut mengundang dan mempelai wanitanya “Sumi Astuti SE”. Apa mas Parman nggak salah itu. Ketika kulihat Mas Handoko juga diam saja, seakan menyetujui. Kupanggil Sumi diapun segera datang membawa sesuatu.

Dia mau memberitahu kami katanya. “Tentang apa Sum?”, tanyaku. “Ini bu, surat undangan” sahutnya sambil menyodorkan, surat undangan berwarna putih, tapi kok logo nya Kementerian pendidikan ya. Coba ku baca, ternyata surat undangan menghadiri Acara Wisuda Sumi Astuti, dari Universitas Terbuka (UT).

Sumi minta maaf ke kami tidak lapor selama ini ikut kuliah di UT. Dia mengambil Progtam Studi Ekonomi. Sambil menunggu Erlangga sekolah waktu luangmya dia gunakan untuk belajar. Pantesan Sumi selalu membawa tas agak besar kulihat. Rupanya membawa buku buku. Dia tidak nyusahin kami, karena semua pekerjaannya beres dan rapi. Aku minta ke Mas Handoko kita pergi bareng orang tua Sumi, menghadiri Wisuda Hari Sabtu ini.

Terjawab sudah kenapa dalam undangan resepsi pernikahan sebulan lagi, Mas Parman menuliskan Sumi Astuti SE. Bukan untuk menutupi bahwa Mas Parman menikahi ART ku. Suamiku bilang dia sudah tahu bahwa Sumi kuliah di UT dari putranya Erlangga, namun karena Erlangga minta di rahasiakan makanya tak diberitahu ke aku.

Wisuda sangat ramai sekali, rupanya banyak wisudawan dari daerah datang ke Auditorium UT Pondok Cabe. Mas Suparmanto juga datang saat Wisuda. Sumi sangat anggun dan cakep dalam balutan toga dan kebaya warna biru muda. Sangat serasi dengan kain batik sutera yang dia pakai. Mas Parman menggandeng Sumi terlihat sangat serasi.

Sepulang wisuda, rombongan kami mampir ke Rumah Makan Sunda, Talaga Sampireun. Kami merayakan keberhasilan Sumi menjadi Sarjana Ekonomi. Sumi tidak mau jauh dari orang tuanya, disamping memperhatikan kami seperti biasa. Kami mencoba pepes ikan emas, ikan emas goreng, sayur asem, sambal tutuk oncom, lencai, tahu tempe goreng, dan es dawet saja. Itu sangat nikmat dinikmati siang hari. Kami tak bisa lama di Rumah Makan, karena antrean panjang, banyak sekali keluarga wisudawan mampir kesitu.

Sehari setelah Wisuda Sumi, orang tua Sumi kembali ke kampung bersama orang tuaku. Mereka akan mempersiapkan pernikahan Sumi, yang sudah ditentukan waktunya.

Acara akad nikah dan resepsi untuk keluarga besar Sumi dilakukan di kampung, sedangkan resepsi pernikahan akan dilaksanakan di Jakarta, dengan mengundang kerabat, saudara, keluarga kedua mempelai dan orang orang terdekat Mas Parman, maupun Mas  Handoko.

Kami pulang ke Cilacap, serombongan dengan keluarga Mas Parman, kami nginap di rumah gadisku, keluarga Mas Parman nginap di hotel. Semua datang dengan tujuan menghadiri pernikahan Sumi dan Mas Parman. Acara berlangsung sangat khidmat, dan berjalan lancar. Kami nginap tiga malam disana. Pulang pergi kami naik Kereta Api, mau membuktikan bahwa pelayanan Kereta Api sudah berubah. Memang benar pelayanannya bagus. Penumpang nyaman di gerbong tempat duduk lega. Sumi sampai di Jakarta langsung diboyong ke rumah Mas Parman.

Sesampainya di rumah aku tanya suamiku. Apa ada yang tidak beres dengan pernikahan kemarin pa, tanyaku ke suami. Dia menjawab:”Akh normal normal saja, sama dengan saat kita menikah dulu”.  Pembicaraan pun berhenti sampai disana karena anakku Erlangga minta makan, yang biasanya diurus Sumi.

Saat resepsi di Jakarta juga sangat meriah, mitra kerja perusahaan Mas Parman pada datang, mengirim kran bunga ucapan selamat. Banyak yang bilang Sumi mirip alm istri Mas Parman, Ratih terus mendampingi Sumi, dia nampak sudah akrab. Kulihat Erlangga saat memberikan ucapan kemempelai juga nyalami Ratih, “Selamat Ya Tih, semoga cepat punya adik ya”. Kami dan mempelai tertawa berderai... sambil bergumam: ”Erlangga bisa saja. Jangan jangan benar seperti dugaanku, Sumi sudah .. akh aku ngelantur”. Kami pun pulang, karena sangat capek kamipun tertidur.

Seperti janji semula ayahku mengirimkan orang lagi untuk membantu di rumah. Marini namanya. Masih saudara jauhku. Dia tak kalah rajin ke banding Sumi. Dia cepat akrab dengan Erlangga. Aku wanti wanti agar tidak segera menikah, bila perlu kuliah lagi sambil kerja, biar bapak yang ngurus biayanya. Dia belum meng Oke kan nya.

Tak terasa sudah tujuh bulan jalan  Marini ikut denganku. Dia mengerjakan apa yang Sumi lakukan dulu. Pagi itu Sabtu sudah agak siang kok Marini belum pergi ngatar Erlangga latihan musik di rumah Ratih. Ku ingat kan dia, dia bilang:”Apa ibu tak ikutan bezook, mbak Sumi, dia kemarin sore melahirkan, katanya putra”.  Nah benar kan aku, benar kan aku, fikuranku berkecamuk lagi. Aku tengok suamiku ternyata sudah rapi. “Ayo ma, kita bezook bayinya mas Parman” katanya.

Aku bergegas mandi lagi dan merapikan diri, terus berempat pergi ke RS Budi Ibu, tempat Sumi melahirkan. Sampai disana tamunya di batasi masuk, masih ada Eyang kakung dan Eyang Putri Ratih di dalam. Mas Parman mengajak aku ngobrol dulu transit di kantin. Sedangkan Erlangga ditemani Marini main sama Ratih di taman Rumah Sakit.

Mas Parman minta maaf, sebelum Bu Handoko bicara. Karena dia tahu Bu Handoko pasti penuh keheranan. Sebelum gosip beredar perlu dijelaskan terlebih dahulu oleh mas Parman.

“Sumi melahirkan normal cukup umur mbak, aku minta maaf bila kami lancang. Sejalan dengan waktu Sumi sering menemani Erlangga ke rumah untuk les musik maupun kerja kelompok. Sumi sangat cekatan sering membantu pekerjaan dirumahku. Kami klop satu sama lain. Apalagi kulihat Sumi memanfaatkan waktunya untuk belajar, membaca buku buku referensi kuliahnya. Kami sering ngobrol, Sumi bertanya tentang ekonomi padaku, aku jelaskan sebisanya, sampai sampai aku membeli buku paket FE UT. Sumi anaknya sangat sopan, tidak pernah macam macam. Setelah itu kuutarakan bahwa aku sayang padanya. Dia cuma bilang Terimakasih. Itu kuartikan setuju. Tak disangka, kami terbawa suasana dan kamipun berhubungan badan. Sumi melakukannya untuk pertama kalinya. Dia kesakitan. Tapi aku bilang aku akan bertanggung jawab. Itu sudah kusampaikan ke Mas Handoko. Beliau cuma bilang tak apa apa, asal bertanggung jawab. “Oke aku tanggung jawab mas, jawabku”. Setelah itu benar saja Sumi terlambat datang bulan, pada bulan berikutnya. Beberapa hari kemudian kami rancang sama mas Handoko, pertemuan di rumah mbak”.

Sambung ku:”Oh.  Begitu, jadi saat rembugan dirumah itu sudah hampir dua bulan ya” tanyaku. “Iya mungkin 6 atau 7 minggu mbak, mungkin saat wisuda sudah lewat dua bulan” sambungnya.

Kamipun bersalaman, mas Handoko hanya senyum senyum saja. “Makanya mbak aku stop disini, ingin ku jelaskan dulu, agar Sumi tak malu, nanti di bezook” ujar Mas Parman. Mas Parman bilang melihat aku sudah curiga dengan Sumi saat wisuda dan acara pernikahan di Jawa. “Ha ha ha mas Parman rupanya memperhatikan aku ya” sambung ku.

Kami beranjak menuju ruang perawatan ibu dan anak, kami mengucapkan selamat kepada Mas Parman atas kelahiran putranya. Sumi rupanya sudah tahu kamu akan datang, dia memelukku, dia minta maaf sudah merepotkan. Aku ucapkan sekali lagi ke Sumi:”Selamat atas kelahiran putranya, selamat kelahiran adiknda Ratih... Semoga semua berbahagia dengan kelahirannya. Siapa namanya Mas Parman, aku mau ngormati mbak, dan istriku yang namanya sama. Namanya Dwi Santika. Kuambil dari Dwi anak ke dua, Santika dari nama mbak yaitu Santi, maupun istriku Santini. 

Wah namaku di abadikan ya mas Parman. Enggak apa apa karena mbak sudah ngeh proses kelahirannya dari awal. Saat bengong Mas Handoko, menggapit tanganku untuk pamitan karena ada tamu lagi. Diapun membidikkan satu kalimat di telingaku. “Tak usah memperpan jang  masalah Sumi dan Mas Parman. Kita juga dulu begitu”.  Akupun tertawa berderai berdua di gang Rumah Sakit, dan tetap bergandengan mesra semakin erat, dan geli bila mengingatnya. Benar juga : ”Kuman diseberang laut kelihatan, gajah dipelupuk mata tidak kelihatan”.

 

Pakdepudja@puri_gading, 31082023.

 

Selasa, 05 September 2023

Cerpen 6. Kakak Iparku, Ibu Anak anakku.

 

 

Cerpen.

 

“KAKAK IPARKU, IBU ANAK ANAKKU”.

 

Akhirnya Suhendro dan Suherni menikah sesuai dengan amanat almarhum istrinya. Suherni membatalkan keputusannya untuk tidak menikah. Dia dosen yang berhasil, pada akhirnya sampai pada jabatan puncak sebagai Guru Besar. Almarhumah istri Suhendro adik dari Suherni. Almarhum meninggal karena digrogoti kangker sudah cukup lama. Laksmi, Laksamana dan Savitri yang memang dekat dengan tante Herni, mendapatkan kasih sayang mamanya yang hilang. Merekapun hidup rukun dan damai dalam keluarga yang bahagia dan berkecukupan, menikmati hari harinya di tiga tempat, Bandung, Tasikmalaya dan Jakarta.

**#**

Sungguh galau hatiku pagi itu, sangat banyak pertanyaan yang tak mampu kujawab sendiri. Sama dengan hari hari yang lain bahkan jauh lebih sulit dari membawa perusahaan kami saat sulit pandemi ke banding ini. Hari ini aku ke kantor hanya mau mampir main saja sambil mengusir kegalauanku. Aku tak betah berlama lama di ruangan, aku jalan saja dan tak mau di temani sopir atau siapapun, asistenku Aini masih memimpin rapat staff.

 

Aku keluar halaman kantor berjalan menyusuri trotoar, dibawah pohon Sakura yang lagi berbunga menuju sebuah café. Sekitaran pk 10 30 aku tiba dan berhenti disana duduk di pojokan. Aku bilang sama waitres tidak mau diganggu, aku hanya memesan kopi vietnam dan sepotong wafel. Aku pejamkan lagi mataku, pertanyaan itu muncul lagi. Itu tuduhan anak gadis remajaku, Laksmi. Aku dengan istriku mempunyai tiga anak. Pertama Laksmi Dewi, sudah remaja kelas dua SMP, Laksamana kelas 6 SD dan Savitri Dewi baru kelas 4 SD. Yang bontot anakku yang paling cuek, dia hanya dan sangat respek sama kakaknya Laksmi ke banding denganku. Laksamana orang yang paling dekat dengan istriku. Sebenarnya cuma Laksmi yang biasa menghiburku, tapi kali ini tidak. Dia komandan pembenci aku.

 

Baru sebulan istriku meninggal dan dimakamkan di pemakaman keluarga. Aku masih sering mengunjungi makamnya, seakan aku belum ikhlas menerima kepergiannya. Ia aku memang belum bisa ikhlas.  Istriku malah terlihat lebih tabah dan tegar menghadapi kematiannya. Karena dia sudah diberitahu dokter tentang harapan sakitnya. Sejak kematian almarhumah, orang tuaku ikutan menemani aku di rumah.

 

Galau beratku mulai muncul ketika orang tuaku mau pamitan kembali kerumah tempat tinggalnya. Masih sekota tapi berlainan jalan, lebih dekat dengan pasar dan sekolah anak anakku. Terutama yang SD, hanya yang SMP sekolahnya lebih dekat ke tempat tinggal ku.

 

Ketika itu aku ngobrol berdua dengan anakku Laksmi, tiba tiba ia berteriak:”Papa jahat, papa bunuh mamaku dengan halus, papa sekongkol dengan tante Hani”.  “Karena papa jahat, maka biarkan kami tinggal sama kakek dan nenek saja” lanjutnya.

 

Hampir aku kehilangan kendali mau memukul Laksmi, tapi ayahku keburu menahan tanganku. Akhirnya kami rangkulan, dan meminta maaf sama beliau. Ayah memahami ke marahanku. Beliau bilang:”Biarkan anak anak ikut ayah dulu, dia belum bisa mengikhlaskan kepergian mamanya”. “Silahkan yah, aku titip anak anak. Biarkan mereka menenangkan diri dulu”, sambung ku ketika itu.

 

Waitres mempersilah kan aku minum, kopi sudah siap dengan sepotong kue pesanan ku. Aku diberikannya sepotong wafel dan jamm madu serta blueberry menyertai kopi vietnam. Aku seruput kopinya, terasa lebih nikmat dari kopi Bu Irah tadi pagi di rumah. Aku kembali dengan pertanyaan terkait anakku, kenapa dia bisa ngomong begitu. Benarkan aku telah membunuh istriku, benarkan Hani kerjasama denganku membunuhnya?. Siapa yang memberikan dia informasi ini? Dan seterusnya muncul lagi di benakku. Sungguh kejam orang yang meracuni pikiran anakku. Yang tega memfitnahku. Seingatku, aku tak pernah mengkhianati istriku, apa lagi selingkuh dan membunuhnya.

 

Aku seruput kopinya selagi masih hangat dan nikmat. Aku coba melihat HP ku, ternyata masih off. Kucoba hidupkan ternyata sangat banyak pesan dan miss call yang masuk. Saat itu tiba tiba HP ku berdering. “Halo, Selamat Siang, dengan Suhendro disini” sapaku. Dari seberang suara Kepala Sekolah Laksmi menelponku. Meminta aku besok datang ke sekolahnya. Pertanyaan baru muncul menambah pertanyaan di benakku. Ada apa lagi anak gadis remajaku ini. Apa ada masalah di sekolahnya.

 

Aku selesaikan bill kopi ku, terus aku menelpon sopirku untuk datang menjemputku. Aku sudah share lokasi. Aku mau pulang mau tidur, mungkin tidur dapat menyegarkan pikiranku. Itu Obay galau yang paling paten saat ini, tidur.

 

Sesuai undangan Kepala Sekolah aku sampai lima menit lebih awal, aku pergi ke ruang Kepala Sekolah. Aku diminta menunggu sebentar, karena Pak Kepala masih mengajar di kelas. Aku disuguhi kopi dengan kue kue tradisional, ada tiga cangkir kopi lagi dan kue cukup untuk empat orang.

 

Pak Kepala Sekokah datang bersamaan dengan guru BP dan wali kelas Laksmi. Pak Kepala Sekolah (Kepsek) menjelaskan bahwa Laksmi terpilih untuk mewakili pertukaran pelajar ke Canada, itu memerlukan persetujuan orang tua. Aku di panggil karena kemarin Laksmi membawa ayah (kakeknya) untuk memberikan persetujuan, dan sekolah tidak mau. Itu harus tanda tangan dari aku ayah kandungnya.

 

Guru BP menjelaskan bahwa dia menduga antara aku dan Laksmi ada konflik sehingga perlu beliau ketengahi, untuk mediasi, karena tidak baik untuk Laksmi yang masih muda. Guru Wali menjelaskan bahwa Laksmi masih juara kelas semester ini, namun nilainya goncang. Aku diminta ikut mengawasi dan menemukan penyebabnya. Semuanya aku ucapkan terimakasih kepada semuanya. Kepsek dan Guru Wali pamit duluan, aku tetap ngobrol sama Ibu Guru BP. Tak lama berselang Pak Kepsek membawa Laksmi ke tempat aku dengan Bu Guru BP. Pak Kepsek terus pergi ke kelas lagi meninggalkan kami.

 

Laksmi aku tawari pelukan dengan membuka kedua tanganku, dia menabrak aku dan menangis sejadi jadinya. Omelan bahwa aku telah membunuh mamanya, masih sesekali diucapkan. Tapi dia tak menyebut lagi aku selingkuh.

 

Bu Guru BP menyuruh aku untuk diam men dengar dan membiar kan Laksmi bicara. Rupanya dia menganggap aku dengan Tante Hani bersekongkol, agar bisa menikah dengannya. Oh tante Herni maksudnya Itu menyakiti hati mamanya, menurut Laksmi. Aku tetap diam menjadi pendengar setia. Herni itu Suherni, adalah kakak istriku yang belum menikah karena mengejar kariernya sebagai dosen di almanaternya. Istriku adiknya Suwarni menikah denganku, lima belas tahun lalu. Jadi aku faham biang keladinya. Jadi ini mudah solusinya, karena anak anakku sangat respek dengan tantenya.

 

Setelah dia terdiam dan duduk dipangkuan aku papanya. Aku usap usap rambutnya. Bu Guru BP menyilahkan aku ngomong. Aku minta Laksmi duduk di depanku, biar aku bida menatap matanya. Wajah Laksmi mirip wajah mamanya. Aku cuma bilang ini salah faham, ayo besok jumat sore kita temui tantemu di Bandung. Kamu tanya dia langsung apa sebenar nya yang terjadi. Anakku mengangguk, dan dia minta aku ijinkan dia ikut pertukaran pelajar ke Canada. “Oke, kalau memang kemauan kamu, papa setuju” kataku sambil menanda tangani surat persetujuan itu. Aku keluar dari sekolah Laksmi, dia mencium punggung tanganku sepert biasa. Aku lega aku mau pulang, dan siap siap pergi akhir pekan ini.

 

Aku jemput putra putriku, untuk pergi ke Bandung. Kakek dan neneknya ikut juga. Dua mobil meluncur ke Bandung lewat tol Cipularang. Tante Herni tak tahu kedatangan kami sebelumnya. Saat kani tiba masih sore, dia di beranda, masih membaca buku, dan draf thesis masih numpuk kelihatan habis berdiskusi dengan bimbingannya.

 

Anak anakku sangat dekat dengan tantenya. Dia dua bersaudara, orangtuanya mertua ku keduanya menjadi korban letusan Gunung Galunggung. Saat itu mereka lagi menengok kebon teh, mereka lagi nginap disana terus bencana itu datang. Sesekali Harni masih pulang ke Tasikmalaya. Tetapi aku heran kok putriku bisa curiga ke tante nya. Laksmi sambil ngobrol menanyakan kebenaran berita itu, apa benar tantenya bersekongkol membunuh mamanya, karena mau menikah dengan papa. Dasar anak anak nanya nya kok polos amat. Untung tantenya sabar dan mengerti psikologi anak anak ku.

 

Dengan tenang Suherni menjelaskan ke ponakannya bahwa itu tidak benar. Nah Laksmi tetap ngotot tidak bisa dijelasin, akhirnya papanya minta Herni menyuruh Laksmi membaca surat mamanya. Lalu Tante Herni membuka laci, dan menarik tangan Laksmi, menyuruh membaca surat itu. Surat itu surat dari mama, yang dititipkan nya kepada ayah untuk diberikan kakaknya. Yang satu surat wasiat yang mamanya kirimkan via kurir sebulan sebelum kematiannya. Tante memberikan ke Laksmi dan membacanya.

 

Surat pertama, jelas tanggalnya sekitar sebulan setengah sebelum mama meninggal isinya: “Kak, umurku kata dokter tidak lama lagi, sakitku sudah stadium akhir. Aku pingin bertahan mungkin sudah tak bisa. Kalau waktu itu tiba, aku titip anak anakku untuk kakak urus. Kakak anggaplah mereka anak sendiri sebagai pengganti kehadiran aku”.  Kulihat di kertas surat ada bekas tetes air mata. Laksmi terdiam seribu bahasa. Laksmi baru tahu  ternyata mamanya sudah lama sakit. Kok mama tak pernah bilang, mungkin tak mau membebani pikiran kami anak anaknya. Air mata Laksmi juga menetes di surat itu menyatu dengan air mata tanteku yang sudah mengering. Ada kesedihan mendalam di kedua wanita itu.

 

Surat ke dua, mama titipkan ke papa untuk membawa ke Tante Herni, seminggu sebelum kematiannya. Karena didesak mama, maka papaku pergi ke Bandung mengantar amanah itu meninggalkan mama di RS. Aku ingat kakek yang menunggu mama saat itu. Benar Laksmi tahu papanya ke Bandung diantar Om Hadi, sepupu ayahku dari nenekku. Aku tak sanggup membacanya namun untuk menjawab keraguanku kucaba membaca walau dengan derai air mata.

 

Isi surat ke dua lebih pendek, aku yakin itu tulisan tangan mamaku. Tulisannya sudah tak konsisten. Isinya: “Kakakku tercinta, saatnya sudah semakin dekat aku meninggalkan kalian Aku titip anak anak untuk kakak didik seperti mendidik aku dulu. Bila kakak mau, nikahlah dengan Suamiku, dia suami yang baik. Aku serahkan semua keputusannya pada kakak, aku percayakan penuh mereka kepada kakak” Adikmu Suwarni.

 

Tulisannya susah tidak stabil tapi itu tulisan mama, mungkin tangannya sudah gemetaran. Dua hari setelah tanggal itu mama tiada. Kami menangis saling berpelukan dengan Tante Herni. Adik adik Laksmi melihat kakak dan tantenya menangis, merekapun ikutan rangkulan semua dan menangis sesenggukan.

 

Laksmi merasa sudah bersalah besar kepada tantenya, dia tak henti hentinya meminta maaf kepada tantenya. Dia merasa bersalah sama papanya, sehingga semakin menambah duka papanya. Herni tahu psikis anak anaknya -yang dia bahasakan selama ini kepada keponakannya- iapun mengajak anak anak mencuci muka, segera duduk kumpul dengan papanya. Laksmi memeluk ayahnya dia minta maaf sama ayahnya.

 

Malam itu tante Herni menawari mereka untuk meginap saja di Bandung. Kakek dan Neneknya Laksmi lagi mampir ke kerabatnya di Dago diantar sopir mungkin juga menginap disana. Rombongan itu bergerak ke luar untuk mencari makan di Bandung Indah Plaza. Mereka makan pada sebuah restoran Padang, seperti kemauan anak anak. Herni sangat bijaksana sekarang sifatnya kok seperti adiknya.

 

Sehabis makan mereka  pergi menonton kebetulan ada pemutaran film warkop reborn. Laksamana terus gelayutan sama tantenya. Aku terpaksa ikutan nonton. Tapi pikiranku tidak bisa berhenti Adi kok tega memfitnah aku di kala begini dikala aku berduka. Aku kasihan psikis anak anakku terganggu.

 

Anak anakku kelihatan senang sekali bersama tantenya malam itu. Laksamana tidur dengan tantenya malam itu, Laksmi, Savitri dan aku tidur di kamar yang lain. Keesokan harinya setelah sarapan kami pamitan pulang, sedangkan anak anak yang pas libur long week end, oleh tantenya tetap diminta tinggal oleh menemaninya. Biar belajar naik kereta nanti pulang ke Jakarta katanya.

 

Di Bandung rupanya Laksmi dipersiapkan tantenya untuk mandiri karena mau ikut pertukaran pelajar. Dia merasa terlalu berat tantenya mentraining dia. Tapi Laksmi asyik saja karena dia ingat didikan tante Herni mirip dengan didikan ibu.

 

Laksmi menjadi lebih semangat dan lebih mandiri menjalani hari harinya. Ayah nya pun sangat berterima kasih pada Herni. Laksmi sudah bisa mengomando adik adiknya balik ke Jakarta naik Kereta Api saat itu. Di sekolah juga dia sudah kembali ke gaya aslinya. Laksmi bisa menyetrika pakaiannya sendiri, dia pingin selalu perfect. Adik adiknya pun sangat respek padanya. Ini kata tantenya biar dia bisa mandiri saat pertukaran pelajar nanti.

 

Akhirnya sejalan dengan semakin lengketnya Laksmi dengan Herni, serta Laksamana diminta pindah sekolah ke Bandung agar bisa lebih diawasi Herni. Rayuan Laksmi ke Tantenya agar Herni mau menikah dengan aku ayahnya, luluh juga hatinya. Kata Herni: ”untuk meredam omongan  orang” dengan seringnya aku datang ke rumah Herni, dan anak anak sudah menganggap Herni mamanya, aku menikah dengan sederhana disaksikan kerabat terdekat,  teman kerja dan anak anakku. Permintaan Laksmi agar kami menikah mengabulkan permintaan almarhum mama, sebelum Laksmi berangkat pertukaran pelajar.

 

Dengan pertimbangan kampus tempat tante Herni mengajar di Bandung, Laksamana dan Savitri dipindahkan ke Bandung, ayah masih wira wiri Bandung Jakarta, karena usahanya ada di Jakarta. Keluarga itupun mencapai kebahagiaan, seperti kalimat dalam Sloka di Bagawad Gita. “Ku ciptakan engkau saling berpasang pasangan untuk menyatu membangun keluarga, berkembang biak untuk mencapai kebahagiaan”. Maknanya sangat dalam, orang berkeluarga itu untuk melengkapi hidup, melahirkan keturunan, dan untuk teman mencapai kebahagiaan lahir bathin, dunia akhirat. ‘Swargo katut, neroko nunut’. Ungkapan kuno itu rupanya relevan dengan sloka BG.

 

Pakdepudja@puri_gading, 08082023.

Senin, 04 September 2023

Suster Nike Eps 2


Perjalanan Panjang Suster Nike.

“KEBAHAGIAAN SEMU NIKE”

 


Hujan masih cukup deras, Suster Nike sudah selesai merawat luka bekas operasi istriku. Katanya sudah sembuh, sehingga hari itu merupakan hari terakhir dia datang kerumahku. Lukanyapun sudah dinyatakan sembuh.

Sementara  istriku sedang menyusui bayiku, Suster Nike, ku temani ngobrol di ruang tamu sambil nonton tv. Seperti biasa sambil menikmati teh poci. Kali ini ditemani dengan martabak manis pandan yang kubeli di jalan raya Tanah Kusir saat pulang tadi.

Suster Nike rupanya enak diajak ngobrol. Dia menceritakan keluarga kecilnya yang sudah dikaruniai seorang anak lelaki, sudah hampir dua tahun umurnya.

Jadi sebaya anakku yang pertama,  “Gemamora namanya”, kata Suster Nike. Pantesan suster Nike sangat dekat pula dengan putra sulungku. Rupanya anakku seumuran anaknya. Kata istriku dua hari lalu bahkan putraku itu sempat dimandikan Suster Nike. Beliau sangat dekat dengan anak anak, bahkan sempat main main dengan anakku.

Suami beliau seorang karyawan swasta, bekerja pada salah satu BUMN infrastruktur, yang sering mengerjakan proyek di seluruh wilayah Indonesia, bahkan kudengar saat ini menjadi kontraktor sampai ke Timor Leste.

Kata Suster Nike, suaminya sangat romantis, jarang marah dan kalau sedang di rumah sangat aware dengan putranya. Bahkan menidurkan putranya pun saat beliau  dirumah sangat terampil, terlebih ketika Suster Nike dinas malam.

Pernikahannya saat menolong istriku sudah berjalan tiga tahun. Kalau kudengar keluarga yang sangat harmonis. Tinggal di sebuah rumah tidak besar di daerah Grogol, tidak jauh dari tempat Suster Nike bertugas. Katanya rumah sendiri. “Tidak lagi mikirin kontrakan tiap tahun dong, bu”, kataku.

Suami Suster Nike sering ditugaskan mengawal logistik ke lokasi proyek di luar kota, sehingga mereka sering berpisah. Bahkan cukup lama, karena logistik di angkut lewat laut.

Selorohku ke Suster Nike:”Mungkin karena sering ditinggal, menjadikan keluarga ibu begitu harmonis, sehingga terus terasa seperti penganten baru saja ya bu”.

Kala itu Suster Nike ketawa lepas. Tetapi di dalam ketawa lepas nya, aku menduga dihati kecilnya malah mengkhawatirkan suaminya tergoda dalam perjalanan dinasnya. Sama seperti ibu ibu umumnya.

Itu kuduga karena ketawanya tak tulus. Kedengaran ada kekhawatiran. Akh … itu urusan Suster Nike fikirku. Aku tak boleh terlalu ikut campur.

“Akh tak usah terlalu berlebihan curiga sama suami, nanti suaminya tak tenang dalam tugas”, kataku menenangkan. Sesuatu yang wajar bila seorang istri khawatirkan suaminya saat dinas ke luar kota.

Lebih lanjut kubilang, ibu pasrahkan saja yang penting suami ibu setia. Masalah nyeleweng itu masalah bakat dimiliki semua orang laki atau perempuan, tinggal dikembangkan atau tidak. Itupun dimiliki oleh semua suami.

‘Kata Bang Napi, kejahatan itu timbul tidak semata karena niat pelakunya, tapi lebih banyak datang karena ada kesempatan, ada penggodanya. Begitu bu”, kataku.

Jangankan di luar kota, kalau mau di rumah pun orang bisa selingkuh. Di kantor istrinyapun suami bisa selingkuh. Tergantung iman dari suami ibu. Sering kita dengar suami selingkuh dengan pembantu, ipar dan lain lain. Begitu pula banyak suami selingkuh dengan teman seruangan istrinya di kantor.  Akh perumpamaan ku ke Suster Nike berlebihan. Jangan jangan aku memprovokasinya. Seharusnya tidak karena Suster Nike sangat dewasa dalam pemikirannya dan pengalaman.

“Kalau masalah iman, mudah2 an, puji Tuhan suami saya bagus pak, dia masih taat beribadah. Setiap ibadah biasanya kami pergi bersama. Sekalian untuk rekreasi”, jelas Suster Nike.  Akh orang yang rajin beribadah tidak berarti bebas selingkuh. Tak ada korelasinya, apalagi berbanding lurus, gumanku dalam hati.

“Jesempatan ibadah juga  selanjutnya sering ku gunakan untuk mengunjungi teman sejawat, sepulang beribadah”, urai Suster Nike.

Kebetulan keluarga Suster Nike beribadah tak jauh dari rumahnya. Di tempat ibadah pada tempat yang disediakan Pemda DKI untuk umat beribadah. Aku tahu tempat itu, disana satu komplek ada Mesjid, Gereja, Pura, Wihara. Yang dibangun saat Gubernur Ali Sadikin. Kutahu karena aku beberapa kali ibadah disana, di Pura Jelambar.

Ya rupanya keluarga Suster Nike, keluarga bahagia dengan satu putra. Suami istri kerja sudah memiliki tempat tinggal sehingga sama seperti kami sudah tidak dikejar kejar kontrakan.

Hujan berhenti kami terus mengantarkan pulang Suster Nike. Seperti biasa kami menyusuri Jalan Tanah Kusir, Pesanggrahan, Kembangan, Kebon Jeruk, Tanjung Duren sampai Grogol tempat tinggal Suster Nike, dengan memacu motorku.

Rupanya suami Suster Nike sedang bercengkerema dengan putranya di teras rumahnya. Aku berhenti dan mengantarkan Suster Nike masuk ke rumahnya. Aku salaman memperkenalkan diri Yansarja.

“Mohon maaf, suster Nike pulang agak telat sedikit, karena di tempat kami tadi hujan lebat”, ujarku kepada Suaminya Suster Nike.

“Lenda, Johannes Lenda, saya suaminya Nike”, jawabnya. Dengan basa basi karena sudah cukup gelap, akupun pamitan kepada Pak Lenda dan Suster Nike.

Ku starter motorku, eh rupanya gadis yang semalam menyetop aku ada lagi.  Batas satu pintu dari rumah Suster Nike. Dia menyangka aku tukang ojek pangkalan.

Ku tanyakan kepadanya. “Nona mau ke mana?” tanyaku.

“Aku mau ke Tanamur”, jawabnya.

“Akh kita nggak sejalan, aku bukan ojek. Kalau arah selatan, Palmerah atau Senayan, ayo, kuanter sekalian pulang” jawabku.

Ya reken reken ngojek, sambil pulang dapat ongkos ojek lumayan buat beli pecell lele, Bang Udin.

Malam itu bulan meremang, disertai renai gerimis. Ku pacu pelan motorku sambil mengingat gaya gadis yang mau ke Tanamur Tanah Abang Timur itu. Kusenandungkan lagu Ebiet G Ade dan Lagunya Mukhsin Alatas berikut:

Ingin berjalan berdua, denganmu kekasih. Lewati malam telah usai renai gerimis….

Lelawa jadi luruh dengan rumput hijau

Jemari tangan kita lengket jadi satu

Dan seterusnya…..

Lagunya Hostes Tanamur Mukhsin Alatas ini.

 

 …Dia menghampiri dengan senyum mesra

Mengajakku turun melantai, mengikuti irama…….. Dst nya

Dalam senandung kecilku, akupun sampai di rumah, dengan sedikit kedinginan, rambut lusuh -karena saat itu belum wajib helm-, istriku pun sudah tidur ngeloni bayi kami. Pelan pelan kubangunkan. Ku genggam tangannya kutuntun ke ruang tamu. Kuajak menikmati Nasi Pecel Lele yang kubeli di Tenda Biru Pecel Lele Udin, di pojokan Komplek Kodam.

Malam itu walau tidak terlalu pedas sambelnya, ku nikmati Nasi pecel lele lengkap dengan soto ayam dan kerupuk kaleng berdua di ruang tamu, sambil nonton Aneka Ria Safari nya Eddy Sud.

Adikku membawa bungkusannya ke kamarnya menikmatinya sambil belajar.

Malam pun semakin larut, kuanterkan istriku ke tempat bayi kami tidur. Akupun melanjutkan nonton TV, dan ketiduran di depan TV.

Rupanya tidurku terlalu pulas, terbangun karena suara azan subuh di mesjid dekat rumahku.

Selamat pagi.

 

Jimbaran, awal Agustus 2022.

 

Suster Nike. Eps 1


Perjalanan Panjang Suster Nike.

 

SUSTER NIKE

 

Sore itu aku baru saja sampai rumah. Rumahku di BSD, bukan di Bumi Serpong Damai, tapi di Bintaro Sanaan Dikit. Aku bersyukur bisa punya rumah walau di pinggiran Jakarta. Sudah tidak di kejar2 kontrakan.

Aku sedang menunggu Suster Nike yang dikirim Dr Yahyana untuk membantu merawat luka istriku bekas operasi Cesar anakku yang ke dua.

Adikku yang ikut dengan kami sudah selesai menyiram kebun kecil disamping rumah. Kebun bunga,  hasil minta minta bibitnya di tetangga.

Dia menyuguhkan teh hangat padaku yang sedang duduk di teras. “Nungguin siapa mas, tumben duduk di luar”, tanyanya.

“Lagi nungguin tamu, Suster yang akan merawat luka operasi mbakmu, yang sedikit ada masalah”, jawabku.

Kuteguk teh hangat yang dibuatkan adik. Sungguh nikmat teh poci sore ini. Teh poci dihidangkannya dalam pot sedang, dengan gula batu di cangkir. Teh poci ada seni dalam menikmatinya.

Gula batu di taruh di cangkir di grojog dengan seduhan teh, sehingga ampas yang terbawa sampai ikut dengan tumpahan tehnya. Groosst ku teguk sangat nikmat. Mengingatkan aku saat pendidikan di Diklat Transjaya Tegal beberapa tahun lalu, sering menikmati teh poci, di warung dekat alun alun.

Sedang asyiknya menyeruput kopi, tiba tiba ada suara, yang mengucapkan salam.

“Selamat Sore Bapak, suara wanita.

“Selamat Sore Bu”. Jawabku.

Rupanya Suster Nike, dengan seragam putihnya menjulurkan tangannya memberikan salam. Suster ini seperti aku tahu, asalnya bila kuperhatikan tengkuk, serta cara bersalaman denganku dan  juga cara jalannya.

“Ya silahkan masuk Suster, istri saya sudah siap di kamar”. Jawabku sambil mengantarkan Suster ke kamar istriku. Silahkan saya mau meneruskan nge teh didepan suster.

Aku kembali ke depan menikmati teh poci yang belum selesai ku nikmati

“Ti Roti...Ti Roti” begitu teriak tukang roti yang biasa lewat depan rumahku. “Stop Bang”, teriakku. Aku membeli beberapa varian roti, roti cempedak, roti gambang dan roti moka.  Roti Tan Ek Tjoan yang memang menjadi kesukaanku sejak kuliah dulu. Mantap satu bisa kenyang.

Oleh anakku roti Tan Ek Tjoan sering dipelesetkan menjadi roti Tante Coan. Akh dasar anak2 yang belum bisa membaca.

Roti cempedak ku nikmati sambil meneruskan minum teh pociku. Kupanggil adik untuk mengantarkan teh juga ke kamar istriku untuk mereka berdua bersama Suster Nike.

Kutahu suster Nike rumahnya cukup jauh dari rumahku. Disamping membantu merawat luka operasi istriku, dia juga pinter memberikan motivasi ibu yang habis melahirkan biar tegar, tak terjangkit baby blue.

Angin semilir sore itu, di tambah pekerjaan yang cukup padat rupanya membuat aku ketiduran di kursi teras rumahku. Maklum PNS abdi negara. Masih bawahan disuruh kesana kemari.

“Pak ..Pak..Pak,Pak bangun”, istriku menepuk pundak ku, aku terkaget dia sudah berani jalan keluar. Aku terkaget bangun sambil usap usap mata.

“Itu Suster Nike sudah selesai, mau pamitan”, lanjut istriku.

“Terimakasih rotinya Pak”, kata Suster Nike.

“Oh sama sama Suster, maaf roti grobak pas lewat” kataku.

Istriku meminta aku, untuk mengantarkan Suster Nike ke rumahnya di daerah Grogol. Saat itu jalan masih sepi, ku antar kan suster lewat Jalan Panjang, Tanjung Duren, terus bunderan Grogol. Saat ini jalanan itu cukup macet. Sepanjang jalan aku ngobrol dengan Suster Nike.

Suster Nike dinas di RS Pemerintah Daerah, katanya setelah lulus sekolah di RS Erkaset (RKZ),  Surabaya, dia mengabdi di almamaternya setahun setengah terus pindah ke Jakarta karena tawaran temannya untuk kerja di RS itu. Jadi keterusan sampai kini.

Singkat cerita dia menikah dengan suaminya sekarang. Sehabis patah hati ditinggal nikah pacarnya seorang mahasiswa di Sekolah Penilik Kesehatan Surabaya. Pacarnya pemuda satu daerah. Jadi sama sama merantau. Bahkan selama pacaran mereka sudah biasa sharing biaya. Kedua orang tua mereka sudah pada tahu dan kelihatannya saling setuju.

Eh ternyata setelah tamat sang pacar menikah dengan seorang penari, tamatan sekolah karawitan. Nah saat itu hatinya gundah gulana, ada tawaran kerja di Jakarta,  tanpa pikir panjang serta sebagai pelarian dia terima tawaran itu. Siapa tahu luka hati ini cepat sembuh kalau jauh dari tempat berdua dahulu.

Dia menikah berdasarkan cinta, dengan orang yang dia bilang sangat mencintainya. Pernikahan dilakukan secara Adat dan Agama di Timor sana.

Kata Suster pernikahannya sangat ramai dan meriah. Dengan dansa dansi di lapangan sebelah rumah mempelai pria. Tenda di pasang sangat besar.

Suster Nike bilang pernikahannya dilakukan juga, walau tidak mulus. Ditentang orang tuanya. Orang tuanya bilang kita nikah beda desa saja kadang beda adatnya. Apalagi kamu menikah beda suku dan beda lainnya. Tentu banyak masalahnya. Begitu pendapat ayah. Rupanya panah asmara sudah terlanjur menusuk kedua insan ini. Mereka nekat melakukan pernikahan. Suster pamit pada orang tuanya, aku Cuma minta restu bukan minta persetujuan. Wah orang tuanya setengah ikhlas merelakan dan membekalinya untuk menikah.

Mendengar cerita pernikahan suster Nike, aku teringat saat dinas ke kantor perwakilan di Kupang.  Kebetulan ada pegawai ya nikah, aku diajak hadir saat pesta pernikahan. Memang sangat ramai. Muda mudi turun badansa. Lagunya ya sangat asyik dinyanyikan group band lokal.

Lagu yang masih kuingat sampai saat ini, lagu Kaos Kuning Nomor 8. Kira2 sayairnya begini -eh maaf bila tidak pas-.

Ade nona zaman sekarang punya mas kawin mahal sekali (2x)

Piring gantung, mobil kijang itu kadang. Buah manis, kulit pala tambah lagi sebilah parang

Siyo nona siyo nona saya dengar kau mau kawin tinggalkan saya(2x)

Kalaulah begitu (2x)

Kembalikan baju kaos kuning nomor delapan ....dst.

Hai hai si nona montok hei, baju kaosnya nomor delapan kataku. Saat mendengarkan cerita Suster Nike. Diapun tertawa... Rupanya Suster Nike tahu lagu itu. Malah janji kasih aku pinjam compack disk nya, khusus berisi lagu untuk badansa khas Timor.

Sampailah aku ke tempa tinggal Suster Nike. Rumah yang indah untuk keluarga,kecilnya.

Aku langsung pamitan. Putar balik pacu motor lewat pinggiran Tol. Sambil menyenandungkan lagu baju kaor kuning nomor delapan. Tak kurasa aku sudah hampir melewati Bebek Bakar Yogi di Kebon Jeruk. Aku mampir sebentar membeli nasi bungkus untuk istriku, aku dan adik di Warung Bebek Bakar Yogi.

Nasi dengan bebek bakar sambel hijau untukku. Nasi bebek bakar madu kecap untuk istriku dan seporsi lagi satu porsi bebek bakar sambel merah untuk adikku.

Aku melanjutkan menyusuri jalan Pesanggrahan, Tanah Kusir hingga sampai rumahku.

Ku bangun kan istriku yang ketiduran habis nyusui bayi kami, ku ajak menikmati nasi bebek Yogi, sebagai penambah gizinya sehabis melahirkan. Kami tak punya ruang makan, kami makan di ruang tamu sambil nonton tv.

Bebek Yogi sangat bersejarah, karena saat ngidam anakku yang sulung istriku ngidamnya nasi bebek Yogi. Hampir rutin kami mampir, kebetulan kalau pulang kerja kami lewat depan bebek Yogi.

Disana pula kami pernah dating saat pacaran eh ketemu bekas muridku yang sudah jadi Arsitek. Malah istriku  jadi akrab dengan muridku, karena mereka pernah saling bertetangga.

Malam itu sambil menunggu kantuk, ku habis kan waktu berdua sama istri bernostalgia kenangan di saat pacaran dulu. Yang kelihatannya mirip dengan cerita Suster Nike. Cerita RS RKZ pun menggelitik ingatanku karena pernah mampir kesana saat masih muda. Ngapain lagi kalau bukan lihat-lihat perawat yang ada disana, siapa tahu ada yang cocok. Ya Rumah Sakit yang di Jalan Diponegoro Surabaya itu.

Disamping tempat mengabdi, sekolah RKZ juga tempat mencari pacar suster atau bidan yang masih singel.

Bukit Jimbaran, 1 Syuro, akhir Juli 2022.

 

 

 

 

 

 

Jumat, 01 September 2023

Cerpen 5. Keluar dari Keterasingan (2)


“KELUAR DARI KETERASINGAN (2)”.

 

Oleh: Pakde Pudja.

 

Lestari kulihat sangat senang, dia sangat bangga dengan dirinya, dia sudah aku percaya nyopir dari kampung ku sampai di kota, hampir seratus kilometer. Dia rajin mengambil foto lingkungan rumah warisan kami, yang terawat dengan baik walau cat nya sangat kusam. Saat SMA nanti Lestari pingin sekolah di kota, atau tetap di desa saja belum dia putuskan. Foto hasil jepretannya di lihat di laptopnya, sehingga nenek dan ibunya bisa ikut nimbrung melihatnya. Semua pada berbisik komentar.

 

Aku tetap asyik dengan mobil antik yang perlu service mesin, yang dikirim Pak Muhidin. Terlihat ada VW Safari,  Daihatsu Taft, Suzuki Jimni. Memang hobi dan kerja ayah nyambung. Sehingga seakan tak kenal lelah dalam kerjanya. Setelah aku bisa nyetir sering diminta ayah test drive menemani ayah keliling kampung. Karena mobil antik tak banyak yang memperhatikan Lestari.

 

Namun kebahagiaan yang dialami anak, mantu, bedan dan cucunya, banyak yang menggunjingkan. Maklum saja karena hidup di kampung. Gunjingan itu sampai ke Pak Mantan Lurah, Sumarno. Sumarno ayah dari Roswita, memanggil mantunya untuk datang ke rumahnya.

 

Pada pertemuan itu ayah mertuaku menyampaikan berbagai gunjingan yang muncul belakangan ini, karena aku berhasil menggalang muda mudi menjadi pelopor dan produktif di kampung, aku gonta ganti mobil walau mobil tua. Pada saat itupun aku sekalian ceritakan bahwa rumah warisan di kota sudah kembali, sehingga memang kami sudah merencanakan memboyong keluarga kami ke kota. Bapak mertuaku minta maaf, dan meminta kami tak tersinggung. Beliau tak mau kesehatan mental keluarga kami terganggu akibat gunjingan di kkampung Hanya itu tujuan mertuaku.

 

Berita ini kusampaikan ke Roswita, dia malah berfikiran kakaknya iri melihat keluarga kami, sehingga memfitnah dan ngadu ke ayah. Aku bilang fikirkan dengan tenang bahwa Lestari sebentar lagi SMA dia perlu sekolah yang lebih baik, rumah keluarga harus diurus, pekerjaanku dengan Pak Muhidin bisa lebih lancar. Akhirnya Roswita merencana kan habis kenaikan kelas ini kami akan pindah. Rumah harus di cek dan diservis dulu. Mendengar rencana ini, Ibuku kelihatannya sangat bersemangat. Beliau cepat sekali pemulihan nya. Mungkin berita tentang rumah memotivasi ibu cepat sembuh.

 

Setiap pagi beliau sudah mampu jalan jalan keliling desa ditemani istriku sambil ke pasar. Ibu bercerita ketemu langganan pedagang telur yang rutin mengambil telur itik dan telur ayam ke rumah. Produksi telur itik sekitar 60 butir seminggu, dan telur ayam sekitar 30 butir per dua minggu. Hasilnya dikelola oleh Roswita untuk keperluan keluarga bersama hasil panen dan ternak yang lain.

 

Secara bertahap kami pindah ke kota, pertama aku dan ibu pindah sambil mengawasi orang kerja, serta ngebengkel mobil antik. Ibu masih dikenal tetangga kami. Sehingga banyak teman bersosialisasi membantu penyembuhan ibuku. Lestari dan Roswita tetap sementara di kampung menyelesaikan SMP nya. Setiap akhir pekan aku ke kampung, atau Roswita dan Lestari yang ke kota.

 

Semua berjalan sesuai rencana, bapak mertua dan saudara Roswita sangat membantu kami. Lestari mendapat sekolah yang dia inginkan di kota, Roswita hanya menemani aku dan merawat ibu sehari hari. Bengkel kami berjalan dengan lancar tetap bekerja sama dengan bengkel Pak Muhidin.

 

Sudah cukup lama ibu minta kami bersama ziarah ke makam ayah, di Cirebon, dekat Gunung Ciremai di sebuah pemakaman keluarga. Bayanganmu itu tempat yang indah yang dipulihkan untuk peristirahatan terakhir ayah. Semoga beliau senang disana.

 

Sepucuk surat berlogo PT Taspen ku terima, untuk datang ke cabang di kotaku. Aku fikir ada kelebihan bayar gaji padaku saat di dalam. Aku datang dengan dokumen yang ada.  Ternyata aku telah dipensiun sebelum perkaraku inkrah. Aku punya rapelan pensiun. Surat Pensiun rupanya tidak dikirim padaku. Untung ada seorang bawahan ayah dulu di Dinas Pendapatan Daerah sekarang di PT Taspen, yang melihat nama ku ada di takah tak berkembang, dia uruslah pensiun ku. Lumayan aku mendapatkannya karena hampir 15 tahun aku tak terima.

 

Begitu juga uang pensiun janda nya ibu rupanya tidak beliau ambil semenjak sakit dan pindah ke kampung. Kuterima semuanya, kuserahkan uang pensiun beliau. Ibuku sangat gembira, di bagi bagilah ke Roswita, ke Lestari untuk membeli pakaian, sebagai hadiah mereka yang merawat ibu selama sakitnya.

 

Ibu bersemangat saat kami antar berziarah ke makam ayah. Kami memanjatkan doa dan mohon maaf karena sangat mungkin masalah ku ikut memicu sakit dan wafatnya beliau. Beliau kena serangan jantung saat kami masih di tahanan, belum diadili. Jadi kami tak bisa menyaksikan. Jenazah ayah di bawa keluarga pulang ke Cirebon.

 

Ibu terlihat sangat khusuk berdoa, demikian juga Roswita dan Lestari ikut berdoa mendoakan almarhum. Taburan bunga kamboja, mawar dan melati, air kembang mengguyur pusara ayah. Begitu selesai Berdoa hujan gerimis mengguyur kami. Mungkin itu pertanda doa kami sampai dan ‘didengar’ permohonan maaf kami.

 

Saat mampir pada keluarga besar di Cirebon, suasana berlangsung kurang enak. Mungkin perasaan kami saja, terutama aku yang lama di pengasingan di dalam. Kami hanya menginap semalam dan terus kembali keesokan harinya.

 

Kami sempat berhenti di Cikampek, mobil yang kubawa sebuah Datsun E2000 antik pinjam Pak Muhidin, terlihat gagah dan antik terawat di deretan parkiran Warung Sate Maranggi. Banyak yang tertarik melihat lihat mobilku di parkiran. Semua menikmati makan sate dan sop sesuai selera. Ibu minta sate ayam lontong, Roswita dan Lestari memesan Sate Sapi dan Gulai, aku memesan Sate dan Sop Kambing, dengan nasi saja. Minumnya kompak semua minum es air kelapa muda. Kami sampai di kota sudah hampir malam.

 

Malam itu ibuku meminta Lestari tidur dengannya. Biasa pulang dari bepergian jauh dia biasanya minta dipijitin kakinya oleh Lestari. Lestari sangat senang karena baru diberikan hadiah neneknya. Tidur kamipun pulas dibuai hujan gerimis malam itu. Pagi pagi Roswita biasa ke dapur membuat sarapan, aku ngontrol mobil di grasi bengkel. Ada mobil gazz tua dan sebuah VW combi yang bodynya sudah di modif. Sambil nyeruput kopi aku dan Roswota ngobrol ngalor ngidul tentang perjalanan ziarah sebelumnya.

 

Istriku mengusulkan kepadaku untuk memperbaiki nisan makam ayah dengan yang lebih pantas, sebelum lebaran nanti. Ibu kelihatan tak berkenan melihatnya. Sampai sampai ibu bilang tidak mau di makamkan disana. Beliau malah minta dimakamkan di makamkan di dekat kota saja agar kami yang ditinggalkan lebih mudah ziarah. Kami meneruskan mengutak atik mesin Gazz, ternyata banyak bagian mesin yang sempat kering dan karatan. Harus aku bongkar. Biasanya head mesin saja dibuka cukup. Sedangkan VW Combi minta dimodif biar aman dari kebakaran mesin.

 

Karena pagi itu kulihat Lestari sudah bangun dan susah rapi, aku suruh test drive mutar sekitar komplek rumah kami. Komentarnya Gazz ini asyik yah, gagah kalau nyopirnya. Harusnya modif sekalian klaksonnya biar lebih modern, diresto begitu. Aku diskusi dengan Lestari, kalau VW dia bilang asyik dan halus sekal8 mesinnya. “Siapa dulu bengkelnya” ujar Lestari. “Ayah” jawabku,  sambil toos berdua.

 

Istriku minta Lestari membangunkan neneknya, tak lama berselang Lestari berteriak....:”nenek,  nenek...” sambil nangis. Aku dekati, dia bersimpuh disamping tempat tidur ibu. Aku pegang nadinya, aku test nafasnya dengan punggung tanganku. “Innalilahi Wainnalilahi Rojiun”. Kami ajak Roswita dan Lestari mendoakan agar jalan ibu dilapangkan, diampuni dosanya serta diberikan oleh Nya ketabahan untuk kami semua. “Semoga ibu husnul khotimah”.

 

Aku panik atas kepergian ibu yang tiba tiba, seakan beliau neninggal dalam sehatnya. Atau mungkin Sakit yang terselubung rasa ingin sehat, untuk kembali ke rumah serta sempat menziarahi makam ayah.

 

Semua serba berjalan sangat cepat. Mertua dan keluarga di kampung tak berselang lama sudah tiba, kelancaran dibantu Pak Muhidin dengan semua anak buahnya, sampai almarhumah di makamkan di pemakaman Kober, tidak jauh dari tempat tinggal ku. Keluarga pada menginap sampai hari ke tiga menemani kami berduka. Ibu kulihat pergi dengan senyum, apa mungkin saat ziarah beliau bilang akan segera menyusul ayah. Akh semua berkecamuk dalam pikiranku, tapi kami berusaha ikhlas.

 

Dalam lamunanku banyak tanda tanya. Mungkin ibu lebih memilih meninggal di rumahnya sendiri, padahal di kala di kampung sakitnya sering sangat parah. Atau mungkin menunggu bebasnya aku. Akh macam macam. Tapi dalam duka aku masih beruntung bisa mengurus jenazah ibuku. Tidak seperti saat ayah meninggal, jangankan mengurus, menengok untuk yang terakhir pun aku tak bisa.

 

Kepergian ibuku memicu Lestari lebih giat belajar, dia bertekad akan sekolah untuk menolong keluarga dan kemanusiaan. Dia sangat ingin masuk Fakultas Kedokteran, aku dan Roswita hanya bisa menyemangati dan mengusahakan biayanya serta membantunya dengan doa.

 

Rumah kami kembali sepi dengan kepergian ibu. Kucoba tidak mengurangi semangat ku memajukan bengkel. Roswita membantuku dalam mengurus keuangan. Aku sudah punya tiga anak buah yang kuambil lulusan STM dari kampung Roswita, anak Karang Taruna yang sudah ku kenal. Aku ingin buktikan aku bisa ikut memajukan kampung Roswita.

 

Terkadang aku ngelamun di samping mobil mobil yang aku servis, kenapa himpitan masalah, himpitan hidup terus menggencet kehidupanku. Aku terpuruk saat baru menikah, Roswita hamil. Dalam kehamilannya aku kena OTT masuk penjara, padahal aku cuma seorang kurir disuruh atasanku mengambil titipan. Dia bisa mengelak, aku masuk penjara, kemudian aku tak tahu sampai istriku pulang kampung dan anakku sudah SMP. Saat senang senangnya di kampung kami harus balik ke kota. Di kota ibuku terus tiada. Kenapa sejarah kesedihanku sambung menyambung.

 

Semoga saja Lestari tidak terganggu oleh kondisi ini. Kasihan dia baru remaja. Tiba tiba istriku menghampiri membawakan minum dan rebusan singkong dan kacang edamame dan lempog yang dia beli di pasar. “Jangan ngelamun saja” goda Roswita. Aku Cuma bilang:”Kenapa dalam kisah ini kesedihan dan masalah datang silih berganti” keluhku. Istriku menenangkan aku dengan berkata:”Itulah kehidupan, kita harus jalani dengan suka cita, cobalah bersyukur dengan apa yang kita peroleh”, sambungnya sambil memeluk aku.

 

Usahaku lumayan berkembang, sampai aku bisa menyekolah kan Lestari sesuai cita citanya. Dia kuliah di kota gambang Semarang, di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Kudengar dari temannya dia akan segera di wisuda, diambil sumpah dokternya. Aku memang tidak tahu, mungkin Roswita tahu nanti aku coba tanyakan. Aku ingin ngajak Roswita naik mobil Taft Kebo merah kesayanganku pergi ke Semarang. Semoga kelulusan Lestari menghibur diriku dan melepas belenggu kesedihan dan ‘kesialan’ perjalanan hidupku.

 

“Tin tin tinnnnn” suara mobil yang dihantar sopir Muhidin di sampingku. Aku terkaget dan terbangun. Kudengar kan ‘keluhan’ dari deru mesin yang ada, kusuruh tinggalkan saja, sambil membawa mobil Jeep Willis, VW Kodok dan sebuah Austin mobilnya Si Doel. Aku dengar ramai di dalam rumah. Ternyata putriku lagi mencoba coba kebaya dengan istriku. Dia memadu padankan kebaya dan batik yang akan di pakai saat wisuda. Aku sih ngikut saja Roswita pasti sudah menyiapkan pakaian untukku.

 

Roswita menyuruh aku segera mandi. Mereka mau ngajak makan makan sebagai ucapan syukur atas kelulusan Lestari, dr. Lestari Karya Ciptanagara. Rupanya dia tak malu menuliskan namaku Ciptanagara di belakang namanya, walau aku seorang yang di vonis ‘koruptor’. Tapi anakku menganggapnya itu risiko kerja, karena menurutnya semua kerja membawa risiko. Obatpun yang diyakini dokter menyembuh kan, terkadang berefek samping negatif,membawa risiko kata Lestari sambil memeluk dan mencium aku.

 

Roswitapun tersenyum menyaksikan adegan putriku memelukku. Dan berteriak “Merdeka....Merdeka... merdeka”. Aku sungguh bahagia sore itu, dan dari mulutkupun bergumam. Kembali dari keterasingan, ke bumi berada.... Masih terasa  menyakitkan. Akh sekarang sudah membahagiakan batinku, gumanku di hati. Apakah dalam sejarah prang mesti jadi pahlawan....?

 

Iya, ayahlah pahlawan ku kata Lestari, ayah pahlawan keluarga, ayah telah mengembalikan kepercayaan diri, kepercayaan hidup kami, kata Lestari memelukku, dan Roswitapun ikut memelukku. Tak pernah se bahagia ini hatiku. Seakan melayang ke langit ke tujuh.

 

Pakdepudja@Puri_Gading, 17082023.